Masih ada 2.508 unit rumah tidak layak tinggal (Rutilahu) yang menyebar di beberapa daerah Kota Cilegon. Sayang, di tahun bujet 2025, Dinas Perumahan dan Teritori Pemukiman (Perkim) cuma sanggup membuat sekitar 44 unit rumah. Angka ini menggambarkan begitu masih jauhnya mimpi beberapa masyarakat Cilegon untuk memperoleh rumah yang aman dan sehat. Rutilahu tidak cuma mengenai dinding yang ringkih atau atap bocor, tapi mengenai hak dasar manusia akan hidup yang bermartabat. Dalam kerangka pembangunan berkesinambungan, permasalahan ini tidak dapat didiamkan menjadi beban yang tetap menimbun tiap tahun.
Kepala Sektor Pemukiman Dinas Perkim, Asep Saifulloh, mengatakan jika kebatasan bujet menjadi pemicu khusus lambatnya aktualisasi pembangunan Rutilahu. Walau pemerintahan sudah membudgetkan Rp30 juta per unit, langsung diteruskan ke rekening yang menerima, tetapi efisiensi bujet di beberapa tahun awalnya mengakibatkan penangguhan pembuatan. Ini menjadi catatan penting jika rencana pembangunan harus jamin keberlanjutan dan kebersinambungan, supaya kontribusi tidak terjerat dalam angka statistik semata-mata.
Menyaksikan keadaan itu, diperlukan pendekatan kolaboratif dan inovatif. Pemerintahan Kota Cilegon harus selekasnya mempelajari kolaborasi dengan bidang swasta lewat pola Corporate Social Responsibility (CSR), supaya pembangunan Rutilahu tidak sekedar jalan, tapi melesat dengan jalan keluar yang riil. Saat faksi swasta diikutsertakan, pembuatan rumah bisa dilaksanakan dengan utuh sampai “tinggal terima kunci”, hingga masyarakat tak lagi harus menanti sekian tahun. Ini bukanlah masalah siapakah yang membuat semakin banyak, tetapi bagaimana percepat jalan keluar buat mereka yang paling memerlukan.
Lebih dari itu, pemerintahan perlu buka ruangan keterlibatan public, seperti pergerakan sosial berbasiskan komune, crowdfunding pembuatan rumah, sampai penyertaan LSM lokal. Akses pada tempat tinggal pantas ialah muka keadilan sosial, dan menjadi tanda khusus dalam merealisasikan misi Indonesia Emas 2045. Saat beberapa rumah masyarakat dibuat bergotong-royong dan empati, karena itu yang terjaga tidak cuma fisiknya, tapi juga semangat berkebangsaan dan keyakinan pada negara.
Kebatasan bujet jangan jadi argumen stagnasi. Malah menjadi rintangan untuk mendatangkan jalan keluar inovatif dan berkesinambungan. Program Rutilahu harus dijaga sebagai pergerakan bersama di antara pemerintahan, swasta, dan warga. Karena saat satu rumah sukses dibuat, karena itu sebenarnya sekeluarga ditolong dari transisi kemiskinan sistematis. Berikut waktunya Cilegon memperlihatkan jika pembangunan yang adil bukan sekedar janji, tapi tindakan riil yang sentuh masyarakat sampai ke dasar tempat tinggalnya.